everything

Minggu, 15 Januari 2017

Cos I am not Perpect Mom

Beberapa hari lalu seorang teman datang saat saya lagi sibuk bikin tumpeng, buat among-among tata yang baru tamat iqro, mendengar Tata dah tamat iqro, si ibu muda langsung bilang,

"hebat tenan Tata mbak, wes tamat iqro?"

"Ora hebat, bioso ae, kami le ngajarin wet umur 4 tahun ki, akeh anak seng luweh hebat"

"Lah anakku gak gelem diajarin ngaji blas ki"

"Sesok gelem"

"Diajarin moco yo gak gelem, arep dolan wae..."

"Sabar, Tata mbiyen yo ngono, koe ojo ngarep anakmu sempurna yoo, lah wong kito wae ga sempurna, akeh kurange"

"iyo dak mbak" karo manggut-manggut

Dulu, saya juga seperti itu, berharap Tata bisa apa saja sesuai umurnya, selalu membandingkan dengan anak lain seumurannya tentang berbagai hal. Kok lebih tinggi si anu ya daripada Tata, kok si inu dah bisa gini ya, kok si unu gampang banget makannya, kok, kok.. pokoknya ada saja yang kurang pada Tata.

Ingat hari pertama masuk sekolah, saya pikir tata yang waktu itu langsung masuk TK B, umur juga dah hampir 6 tahun, tidak bakal nangis. Ternyata dia nangis saat disuruh baris bersama teman-temannya, saya langsung kecewa dan ingin marah, rasanya kok ngisin-ngisinin, tidak seperti harapan saya. Dalam benak saya hari pertama sekolah langsung hore-hore, pas ditanya guru langsung tunjuk jari, trus ketawa-ketiwi sama temannya, tapi kenyataannya malah terbalik, padahal sudah sekeluarga yang mengantarnya.

Waktu beberapa hari masuk sekolah, Tata jalan terseok-seok sambil menyeret-nyeret sepatu, saya marah dalam hati, kenapa sih jalannya mesti begitu, bikin malu, jalan dong yang anggun kayak pragawati, eh ternyata sepatunya agak longgar, emak macam apa saya coba, beli sepatu yang anaknya dibawa masih juga kebesaran, disumpal pake tisu jalannya masih juga aneh, untung masih ada sepatu lama dan masih bagus, jadilah sepatu baru menunggu tahun depan baru bisa dipake.

Diawal Tata sekolah jujur saja saya masih sering membandingkan, apa yang dicapai temannya harus dicapai juga sama anak sendiri, kadang dirumah marah-marah kalo Tata tidak mau mengerjakan latihan. You know, dengan berpikir gitu saya menjadi lelah, merasa kuatir, merasa senang banget kalo ada anak lain yang sama kayak Tata, iri dengan prestasi anak lain. Pokoknya semua itu malah bikin saya gerah hati.

Mungkin terlalu capek dengan semua itu, sampai akhirnya saya berpikir "sudahlah". Saya mulai mengoreksi diri saya sendiri, apakah yang saya lakukan selama ini sudah benar?, jangan-jangan saya terlalu memaksa, terlalu sering memerintah, terlalu sering marah-marah.

Sekarang apapun yang dicapai Tata, saya fine-fine saja, tak perlu membandingkan dengan temannya, bisa jadi temannya ada yang lebih pintar atau sebaliknya. Terkadang malah saya merasa dia lebih pintar dari saya, saya bisa bacaan solat kelas 3 SD sementara dia masih tk, rasanya saya Al-Qur'an sudah besar sementara dia sekarang sudah, hapalan ayat pendeknya lebih banyak dari saya saat ini, saya malah yang belajar saat di mengulang-ngulang hapalannya di rumah, cobaaa.

Saya sadar kok jauh dari sempurna, terkadang masih juga berteriak atau ngomel-ngomel saat Tata menumpahkan sirup dilantai, saat mencoret-coret dinding, saat shampo sebotol yang baru beli jadi buih dalam ember, saat kangkung yang sudah disiangi dicampur dengan sampah.

Mestinya tak perlu ngomel-ngomel dan berteriak, sirup yang tumpah bisa dilap, dinding yang kotor besok bisa di cat lagi, sampo bisa beli lagi, kangkungnya gak bisa di masak ya ambil sayuran yang lain, marah-marah toh tidak mengembalikan semuanya pada keadaan semula. 

Sayalah yang harus belajar menjadi orang tua yang disiplin, memberi contoh yang baik, terkadang bilang jangan tapi akhirnya dibolehkan, bilang tidak tapi akhirnya iya. Saya tidak menuntut anak-anak saya menjadi sempurna, karena saya juga bukan ibu yang sempurna, tapi saya akan berusaha keras agar anak-anak mendapat ilmu yang baik agar bisa menjadi manusia yang soleh dan bermanfaat bagi sesama.